Congregated Men - Kumpulan Para Pria
Part 4
Dia melihat ke samping dan mengingat tampilan luar rumah Gazef agar dia bisa tahu jalan pulang. Dia tidak bisa mengingat bagaimana bentuknya dulu ketika Gazef menyeretnya kemari; pikirannya sedikit kabur karena hipotermia.
Dia setidaknya tahu lokasi dari rumah Gazef karena dia berencana untuk mengunjunginya agar bisa menantang Gazef bertarung. Namun, karena dia hanya pernah mendengarnya dari mulut ke mulut, ada sedikit kesalahan dalam informasinya.
"Di atap rumah itu tidak ada pedang yang tertancap."
Dia mengamati dengan teliti rumah tersebut mengutuk pemberi informasi yang telah memberinya informasi yang salah. Rumah itu lebih kecil bila dibandingkan dengna rumah-rumah bangsawan yang ada di sana. Jika seseorang membandingkannya, rumah tersebut terlihat seakan jika seorang penduduk yang kaya layak tinggal disana. Bagaimanapun juga, sudah lebih dari cukup bagi tiga orang: Gazef dan sepasang pelayan yang tinggal di sana.
Memasukkan ke dalam ingatannya, Brain melanjutkan perjalanannya.
Dia tidak menuju tujuan manapun secara khusus.
Dia tidak lagi ingin berkeliling mencari item magic, senjata-senjata, atau armor.
"Apa yang harus kulakukan...."
Gumamannya menghilang ke ruang kosong.
Tidak masalah jika dia hanya pergi kemanapun dan menghilang. Bahkan sekarang, otaknya sangat tertarik sekali dengan ide tersebut.
Meskipun dia telah mencari di hatinya atas apa yang ingin dia inginkan, dia hanya menemukan sebuah lubang kosong di tempat itu. Bahkan tak ada sedikitpun sisa dari tujuan yang sudah hancur dulu.
Lalu mengapa-
Melihat ke bawah, katana ada di tangan kanannya. Di balik bajunya, dia sedang mengenakan baju rantai (chain shirt).
Alasan mengapa dia menggenggam katana sebelum tiba di ibukota adalah rasa takut. Meskipun jika dia tahu bahwa itu tidak akan ada apa-apanya bagi monster yang disebut Shalltear yang telah menahan serangan kekuatan penuh miliknya hanya dengan kuku dari jari kelingkingnya, kegelisahan tanpa adanya pedang itu terlalu besar dirasakan.
Lalu mengapa dia masih tetap memegangnya? Tidak masalah meskipun dia meninggalkan pedang itu. Seperti yang diduga, apakah itu karena dia gugup?
Memikirkannya lagi, Brain memiringkan kepalanya.
Tidak.
Namun, kenapa dia membawa katana itu bersamanya, tak ada jawaban yang datang.
Brain berjalan sambil mengingat ibukota waktu dulu ketika dia mengunjunginya untuk pertama kali. Sementara bangunan seperti istana dan guild Magician masih tetap tidak berubah, dia melihat banyak bangunan yang baru. Saat Brain mencoba untuk menikmati jarak di ingatannya, ada sebuah keributan di jalan depan sana.
Dia mengerutkan dahi melihat keributan itu. Suara yang datang dari depannya dipenuhi dengan rasa kekerasan yang tajam.
Saat dia akan berputar untuk mengambil jalan berbeda, matanya menjadi tertarik oleh seorang pak tua. Pak tua itu kelihatannya seperti meluncur menembus kerumunan itu saat dia menuju jauh ke dalam.
"..A-Apa? Gerakan apa itu?"
Matanya berkedip beberapa kali saat kalimat itu tak sengaja keluar. Gerakan-gerakan itu benar-benar terlalu luar biasa. Itu membuatnya seakan-akan dia baru saja melihat mimpi di siang bolong, atau mungkin hasil dari semacam mantra.
Masih diragukan apakah Brain bisa mengikuti gerakan pak tua itu atau tidak. Teknik seperti itu hanya mungkin bisa dilakukan jika seseorang bisa membaca aliran dari dorongan dan tarikan yang tercipta baik dari individu tersebut dan seluruh kerumunan.
-Apa yang dia lihat adalah sebuah keahlian dari tubuh.
Kakinya bergerak ke arah pak tua itu tanpa ragu.
Setelah mendorong minggir orang lain dan tiba di tengah kerumunan, apa yang Brain lihat adalah saat ketika pak tua itu menyerang dagu pria tersebut dengan kecepatan yang tinggi.
Lalu bagaimana? Serangan yang tadi itu... Jika itu adalah aku, bisakah aku menghindarinya? Itu mungkin sulit. Apakah dia menipu indera pria tersebut? Apakah aku hanya terlalu banyak berpikir? Lagipula, itu adalah serangan yang sangat bersih, tak ada satupun gerakan yang sia-sia...
Dia bisa merasakan kekaguman yang keluar dari mulutnya saat dia merenungkan serangan yang saja dia lihat tadi.
Bukan hanya dia tidak bisa melihatnya dengan jelas, sangat sulit membandingkan seorang pemakai pedang dan seorang ahli beladiri yang menggunakan unit pengukuran yang sama. Namun, meskipun dalam waktu sekejap itu sudah lebih dari cukup untuk bisa memahami bahwa pak tua itu sangat kuat.
Pak tua itu mungkin bahkan lebih kuat dari dirinya.
Sambil menggigit bibir bawahnya, Brain membandingkan sisi samping dari wajah pak tua itu dengan data dari lawan-lawan yang ahli yang ada di dalam ingatannya. Namun, dia berbeda dari mereka semua.
Siapa dia sebenarnya?
Dalam satu kedipan, pak tua itu bergerak keluar dari kerumunan. Seorang bocah juga menjauh, seakan mengikuti pak tua itu. Bertindak karena dorongan, dia seperti ditarik ke dalam, Brain mulai mengikuti si bocah.
Rasanya pak tua itu seperti memiliki mata di punggungnya, membuatnya sulit bagi Brain untuk mengikutinya dari dekat. Tapi dengan bocah itu, itu bukan masalah. Dan meskipun jika bocah itu ditemukan, Brain sendiri masih akan aman.
Sesaat setelah dia mulai mengikuti mereka, Brain merasakan kehadiran beberapa orang lain yang mengikuti. Namun, apakah mereka mengikuti pak tua atau si bocah bukanlah urusannya.
Akhirnya, dua orang itu berbelok ke sudut dan jalan mereka berlanjut semakin gelap. Brain merasa gugup, itu seperti dia sedang dipancing.
Apakah si bocah itu tidak berpikir curiga? Saat Brain mulai penasaran, bocah itu bicara kepada pak tua tersebut.
Karena mereka baru saja berbelok dari sudut, Brain mampu bersembunyi di dalam lorong dan mendengarkan pembicaraan mereka.
Untuk meringkas percakapan mereka, bocah itu ingin belajar dari pak tua itu.
Omong kosong. Pak tua itu tidak akan menerima bocah yang masih hijau sepetinya sebagai seorang murid.
Ketika membandingkan kemampuan dari mereka berdua, jika si bocah adalah batu kerikil, maka pak tua itu seperti permata yang besar. Mereka hidup dalam dunia yang benar-benar berbeda.
....Sayang sekali. Aku tidak mengira bahwa mengetahui perbedaan dalam kemampuan antara dirimu dengan orang lainnya akan semenyedihkan ini. Sudah cukup, bocah.
Brain berpikir sendiri tanpa mengatakannya dengan keras.
Sementara yang dia maksud adalah bocah itu, juga diarahkan kepada dirinya sendiri di masa lalu yang masih cukup bodoh untuk percaya bahwa dia adalah yang terkuat.
Saat dia melanjutkan menguping - dia tidak sedikitpun memberi perhatian tentang rumah bordil - Kelihatannya sudah diputuskan bahwa pak tua itu akan melatihnya mungkin sekali atau dua kali. Pak tua sekaliber itu, kepada bocah sepertinya, Brain tidak bisa berpikir apapun yang layak diajarkan.
Apa yang terjadi? Apakah mataku kabur lagi? Tidak, bukan itu. Kemampuan bocah itu tidak spesial dan dia bahkan tidak memiliki bakat apapun!
Latihan macam apa yang akan dia berikan? Tapi dari posisi ini, dia hanya bisa mendengar, tidak bisa melihat. Tak mampu menahan rasa penasarannya, Brain mematikan kehadirannya dan pelan-pelan bergerak untuk mencoba mengintip dari sudut. Saat itu-
Sebuah energi yang menakutkan menusuk seluruh tubuhnya.
Teriakannya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Seluruh tubuhnya benar-benar membeku.
Rasanya seperti binatang karnivora raksasa sedang bernafas dalam jarak satu inchi dengan hidungnya. Dunia dipenuhi dengan rasa haus darah yang luar biasa. Itu membuatnya penasaran apakah jantungnya sudah berhenti berdetak atau tidka.
Udara ini bahkan mungkin setara dengan Shalltear Bloodfallen, pikir Brain, yang dia percayai sebagai makhluk terkuat di dunia ini.
Jika ada orang yang lemah pikiran, jantung mereka pasti akan benar-benar berhenti. Kakinya gemetar, dia terjatuh ke tanah dengan suara gedebuk.
Jika aku seperti ini, mungkinkah bocah itu sudah tewas?
Jika dia beruntung, maka dia hanya akan pingsan.
Tertekuk lututnya, gemetar saat dia menopang diri dengan lengannya, Brain mencari kehadiran dua orang itu dan menyaksikan pemandangan yang tidak mungkin. Meskipun hanya dalam sekejap, goncangan itu membuatnya melupakan ketakutannya.
Bocah itu masih berdiri.
Seperti Brain, kedua kakinya gemetar karena terror. Meskipun begitu, dia masih berdiri.
A-Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin bocah itu masih bisa berdiri?
Dia tidak mengerti bagaimana bocah itu masih berdiri sementara dirinya sendiri lutut dan tangannya sudah bersikap memalukan.
Apakah bocah itu memiliki item magic yang bisa menahan rasa takut atau tahu sebuah martial art yang sama efeknya? Ataukah dia memiliki semacam bakat spesial?
Dia tidak bisa mengatakannya dengan yakin bahwa kemungkinan itu tidak ada. Namun, sambil menatap punggung si bocah yang tak dapat diandalkan, Brain ahu secara intuitif bahwa itu bukan masalahnya. Meskipun tidak mungkin, hanya itu yang bisa dia pikirkan.
Bocah itu lebih kuat dari Brain.
Menggelikan! Bagaimana mungkin bisa begitu!
Meskipun kelihatannya dia telah melatih tubuhnya, dia masih kurang berisi. Dari saat meliaht bagaimana dia menggerakkan kaki dan tubuhnya sambil mengikutinya, bocah itu kelihatannya tidak memiliki bakat sedikitpun. Meskipun begitu, hasilnya berbeda.
A-Apa yang terjadi? Apakah aku selemah itu?
Helaan nafasnya semakin suram.
Brain tahu bahwa air mata sudah jatuh dari matanya. Namun, dia tidak bisa memanggil energi untuk mengusapnya.
"Uuu, ugh...kuh..."
Dia mencoba sebisa mungkin untuk tidak menangis keras-keras. Meskipun begitu, air matanya mengalir tanpa akhir.
"Me..Mengapa..Mengapa."
Brain menggenggam tanah dan memfokuskan kekuatannya untuk berdiri. Tapi rasa haus darah itu masih menabrak tubuhnya membuatnya tidak mampu bergerak walaupun hanya satu inchi. Hal terbaik yang bisa dia lakukan adalah mengangkat wajanya dan melihat ke arah bocah dan pak tua itu.
Dia melihat punggungnya.
Bahkan sekarang, bocah itu masih berdiri.
Bahkan sekarang, bocah itu masih berdiri berhadapan dengan pak tua tersebut dengan rasa haus darahnya. Punggung yang dia kira lemah terlihat luar biasa jauhnya.
"Apakah aku..."
Selalu selemah ini?
Dia merasa marah dengan dirinya, bahkan setelah rasa haus darah itu sudah menghilang, hal terbaik yang bisa dia lakukan adalah berdiri.
Latihan mereka kelihatannya masih tetap berlanjut. Tak mampu menahan lagi, Brain memerah seluruh keberaniannya dan berteriak saat dia melompat keluar dari sudut itu.
"-Tu..Tunggu! Aku mau tanya!"
Dia tidak lagi berpikir bahwa dia tidak seharusnya ikut campur dengan latihan mereka atau bahwa dia seharusnya menemukan timing yang tepat untuk muncul.
Bahu si bocah melompat saat suara putus asa itu terdengar dan membuatnya berbalik, menunjukkan ekspresinya yang terkejut. Jika posisi mereka dibalik, Brain juga, akan muncul dengan reaksi yang sama.
"Pertama, aku benar-benar minta maaf sudah menyela kalian berdua. Maafkan aku. aku tidak tahan lagi untuk menunggu."
"...Apakah dia adalah orang yang anda kenal, Sebas-sama?"
"Tidak, aku tidak kenal. Ternyata begitu, jadi kamu juga tidak mengenalnya..."
Mereka saling melihatnya dengan curiga. Namun, itu adalah hal yang memang bisa diduga.
"Pertama dan yang paling awal, nama saya adalah Brain Unglaus. Sekali lagi, biarkan saya meminta maaf karena sudah menyela kalian berdua. Saya minta maaf."
Dia membungkuk lebih dalam dari sebelumnya. Dia bisa merasakan mereka berdua sedikit bergerak.
Setelah dia merasa sudah cukup lama menunjukkan ketulusannya, Brain mengangkat wajahnya dan melihat ekspresi mereka yang mengandung kecurigaan yang lebih sedikit dari sebelumnya.
"Dan apa keperluanmu dengan kami?"
Dari pertanyaan pak tua, Brain menatap si bocah.
"Ada apa?"
Saat si bocah bertanya-tanya, Brain mengajukan pertanyaan, seperti batuk-batuk mengeluarkan darah.
"Mengapa...bagaimana kamu masih bisa berdiri setelah menerima rasa haus darah seperti itu?"
Mata bocah itu sedikit melebar. Karena wajahnya memang tidak ada ekspresinya, gerakan sekecil itu terasa seperti perubahan besar dalam emosinya.
"Aku ingin mendengarnya. Rasa haus darah itu jauh melebihi ketahanan dari manusia biasa. Bahkan tubuhku ini... maaf, bahkan aku tak bisa menahannya. Tapi kamu berbeda, kamu menahannya. Kamu masih berdiri. Bagaimana bisa kamu melakukannya?! Bagaimana hal itu mungkin?"
Dia tidak bisa berbicara seperti biasanya karena kegirangannya. Namun, sulit untuk menahannya. Dia yang telah menyerah dengan rasa takutnya dan kabur di hadapan kekuatan yang luar biasa dari Shalltear Bloodfallen, dan bocah yang menerima rasa haus darah bisa setara dengannya dan tetap berdiri, dimana perbedaan mereka datangnya?
Dia harus tahu tak perduli bagaimana.
Seakan pemikiran ini tersalurkan kepadanya, meskipun si bocah terlihat bingung, dia memikirkannya dan membalas.
"...Entahlah. di dalam pusaran yang dipenuhi dengan rasa haus darah sebanyak itu, aku tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan. Tapi mungkin ... itu karena aku sedang memikirkan tuanku."
"...Tuan?"
"Ya. Ketika aku memikirkan orang yang aku layani....kekuatan meningkat dari dalah tubuhku."
Bagaimana mungkin kamu bisa bertahan dengan hal seperti itu?
Meskipun Brain ingin meneriakkannya, sebelum dia bisa melakukannya, pak tua itu bicara dengan lirih.
"Itu artinya kesetiaannya lebih besar dari rasa takutnya. Unglaus-sama, manusia bisa menunjukkan kekuatan yang luar biasa jika itu untuk orang yang penting bagi mereka. Seperti bagaimana seorang ibu yang mengangkat sebuah tiang untuk menyelamatkan anaknya yang terjebak di dalam rumah, seperti bagaimana seorang suami yang mengangkat istrinya dengan satu tangan ketika sang istri akan roboh, aku yakin itu adalah kekuatan manusia. Orang yang ada disini juga, dia menunjukkan kekuatan itu. Dan dia tidak sendiri dalam hal ini. Jika anda memilikinya anda tidak akan menukarnya dengan apapun, maka Unglaus-sama akan mampu menunjukkan sebuah kekuatan yang lebih besar daripada yang diduga dari diri sendiri."
Brain tidak bisa membuat dirinya percaya pada kata-kata itu. Hal yang tidak ingin dia tukar dengan apapun, 'keingingannya terhadap kekuatan' akhirnya jadi percuma. Terlalu mudah, mudah dihancurkan. Apakah dia menjadi semakin ketakutan dan kabur?
Saat ekspresinya semakin gelap dan wajahnya menunduk ke bawah, kalimat berikutnya dari pak tua itu membuat wajahnya terangkat.
"...Apa yang ditingkatkan sendiri akan menjadi lemah. Lagipula, itu akan berakhir ketika dirimu sendiri hancur. Namun, jika kamu membangung dirimu dengan orang lain, jika kamu bisa memberikan seluruh apa yang kamu punya untuk orang lain, maka meskipun jika kamu ancur kamu tidak akan jatuh."
Brain memikirkan dirinya sendiri. Apakah dia memiliki hal semacam itu?
Namun, tidak ada. Dia telah membuangnya ke samping, berpikir bahwa hal itu tidak berguna dan tidak perlu untuk pengejarannya dalam hal kekuatan. ternyata mereka benar-benar penting.
Brain tertawa keras. Hidupnya tidak dipenuhi melainkan dengan hanya kesalahan. Sebelum dia tahu, kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar seperti pernyataan.
"Aku telah membuat semua itu. Apakah masih telat bagiku untuk mencoba lagi?"
"Tidak apa. Bahkan orang sepertiku yang tidak punya bakat apapun mampu melakukannya. Jika itu adalah Unglaus-sama, aku tidak ragu bahwa anda akan bisa melakukannya! Pasti belum terlambat!"
Kalimat bocah itu tidak memiliki bukti. Namun, anehnya, Brain merasakan sensasi hangat mengalir ke seluruh jantungnya.
"Kamu memang baik dan kuat... Maafkan aku."
Bocah itu menjadi berdebar karena permintaan maaf yang tiba-tiba. Seseorang dengan keberanian seperti ini, dia telah mengejeknya dan menyebutnya bocah.
Dasar bodoh. Aku sangat, sangat bodoh...
"Tapi jika anda bilang bahwa anda adalah Brain Unglaus... jangan-jangan anda yang bertarung melawan Stronoff-sama di masa lalu?"
"...Jadi kamu teringat... Apakah kamu melihat pertarungannya?"
"Ah, saya tidak bisa melihatnya. Saya hanya mendengarnya dari orang lain yang melihatnya. Orang itu bilang bahwa Unglaus-sama adalah ahli pedang menakjubkan dan orang-orang dengan kemampuan seperti itu di Kingdom hanya bisa dihitung dengan jari. Sekarang setelah aku melihat sendiri postur anda dan bagaimana anda membertahankan pusat gravitasi tubuh anda saat bergerak, aku tahu bawah orang itu memang bicara benar!"
Mendorong kembali pujian asli dari Climb, Brain tergagap dan membalas.
"..Erhm.tr-trims. Aku-Aku sama sekali tidak berpikir sehebat itu, tapi... aku sedikit gembira bahwa kamu memberiku pujian sebanyak itu."
"Hmm.. Unglaus-sama."
"Tetua, panggil saja saya Unglaus. Saya tidak layak diberi kehormatan orang orang seperti anda, Tetua!"
"Kalau begitu karena namaku adalah Sebastian, silahkan panggil aku Sebas... Kalau begitu Unglaus-kun."
Meskipun dia merasa sedikit canggung dengan tambahan -kun yang menempel pada namanya, tidak aneh ketika mempertimbangkan perbedaan usia mereka.
"Bagaimana kalau anda mengajarkan pedang kepada Climb-kun ini? Aku yakin itu akan terbukti menguntungkan bagi Unglaus-kun juga."
"Ah, maafkan saya! Nama saya Climb, Unglaus-sama."
"Kalau begitu tetua...maaf, Bukankah Sebas-sama yang akan mengajarinya? Kelihatannya anda tadi mendiskusikan hal itu sebelum saya menyela"
"Ya, itu adalah niat saya pada awalnya. Tapi aku merasa bahwa perlu untuk menghadapi tamu-tamu saya-ah, ini dia mereka. Kelihatannya mereka sedang sibuk mempersiapkan perlengkapan mereka."
Brain terlambat memutar matanya ke arah yang dilihat oleh Sebas.
Tiga orang menunjukkan diri. Mereka masing-masing memakai baju rantai (Chain Shirt) dan memegang senjata pedang pada sarung tangan kulit tebal mereka.
Mereka benar-benar mengeluarkan nafsu membunuh yang melebihi sikap permusuhan biasa. Meskipun rasa haus darah mereka hanya diarahkan kepada pak tua itu, mereka kelihatannya bukan tipe yang mengampuni dan melepaskan saksi.
Melihat orang-orang tersebut, Brain tanpa sengaja mengeluarkan suara cempreng yang dipenuhi dengan keterkejutan.
"Tidak mungkin! Mereka datang kemari meskipun setelah menerima haus darah tadi? Apakah mereka sekuat itu?!"
Maka dia bisa membayangkan bahwa masing-masing dari mereka adalah para ahli - tidak, bahkan lebih kuat dari Brain sendiri. Apakah alasan menguntit mereka agak ceroboh karena mereka terlalu terfokus dalam menyempurnakan skill mereka sebagai gantinya?
Namun, ketakuan Brain ditolak oleh Sebas.
"Rasa haus darah tadi hanya diarahkan kepada kalian berdua."
"..Apa?"
Bahkan Brain sendiri berpikir bahwa suara mereka terdengar diam.
"Bagi Climb, itu adalah latihan baginya. Bagimu, karena kamu kelihatannya tidak ada niat untuk menunjukkan muka, aku mengirimkannya untuk mencoba dan menarikmu keluar untuk mengetahui rasa permusuhan apapun yang mungkin kamu bawa dengan semangatmu dalam bertarung. Aku tidak melakukannya kepada orang-orang itu karena aku tahu bahwa mereka adalah musuh sejak awal. Akan merepotkan bagiku jika mereka ketakutan dengan haus darahku dan kabur malahan."
Sebas menyelipkan sesuatu yang menakutkan dalam penjelasannya. Bain bahkan tidak bisa lagi lebih terkejut. Tidak mengira bahwa dia bisa mengendalikan haus darah dengan skala sebesar dan keakuratan seperti itu, itu bukan lagi sesuatu yang bisa dipahami dalam batasan hal yang masuk akal.
"Te..Ternyata begitu. Maka anda tahu identitas orang-orang itu?"
"Aku bisa membuat sebuah dugaan tapi aku tidak yakin. Itulah kenapa aku berniat untuk menangkap satu atau dua untuk infomrasi. Namun-"
Sebas membungkukkan kepalanya.
"Aku tidak ingin kalian berdua ditarik dalam hal ini. Bisakah kalian segera meninggalkan tempat ini?"
Mendengar kalimat ini, Climb bertanya kepadanya.
"Sebelum itu, saya punya pertanyaan yang ingin saya ajukan. Apakah orang-orang itu ... apakah mereka kriminal?"
"...Kelihatannya begitu. Aku tidak mengira mereka sebagai orang dengan tipe yang menjalani kehidupan dengan benar."
Setelah mendengar jawaban Brain, api membakar mata Climb.
"Mungkin aku hanya akan menghalangi saja, tapi aku juga ingin bertarung. Sebagai seseorang yang melindungi keamanan ibukota, sudah jelas aku harus melindungi penduduknya."
Di dalam pikirannya, Brain berpikir bahwa tidak ada jaminan jika Sebas adalah satu-satunya dalam situasi ini. Yah, tidak diragukan lagi siapapun yang membandingkan orang-orang yang baru saja muncul dengan Sebas yang mengeluarkan kesan integritasnya akan percaya bahwa dia adalah sisi kebaikan. Tapi meskipun begitu, tidak ada jaminan.
Masih hijau...
Namun, dia bersimpati dengannya. Ketika membandingkan seseorang yang menyelamatkan bocah tadi dari pemabuk dengan orang-orang ini, sangat jelas sisi mana yang akan diambil oleh Brain.
"Meskipun mungkin anda tidak akan memerlukan bantuan apapun... Sebas-sama, saya akan memberi bantuan juga."
Brain berdiri di samping Climb. Sebas tidak akan memerlukan bantuan...tidak, bahkan tidak akan ada artinya mereka disana. Namun, untuk mencoba meniru Climb yang bertarung untuk orang lain, Brain memilih sebuah jawaban bahwa dirinya yang dulu tidak akan melakukannya. Meskipun hati bocah itu kuat, kemampuannya dengan pedang masih kurang. Dia harus melindunginya.
Brain menatap senjata yang dipegang orang-orang itu dan mengerutkan dahi.
"Racun... Kelihatannya mereka berpengalaman melihat bagaimana mereka menggunakan sebuah senjata yang bisa membunuh mereka... Apakah mereka assassin?"
Ada garis yang terpahat pada mata pedang mereka, juga disebut sebagai mail breaker (penghancur baju rantai). Cairan di mata pedang itu memberikan kilauan jahat. Dan cara gerakan mereka yang gesit terfokuskan pada gerakan mereka, berbeda dari ahli-ahli pedang itu, semuanya memastikan ucapan Brain.
"Climb-kun, berhati-hatilah. Meskipun akan berbeda jika kamu memiliki item magic yang bisa menghalangi poison, anggap dirimu mati jika kamu terkena sekali saja."
meskipun kemampuan fisik Brain membuat poison tidak efektif, akan sulit bagi Climb untuk menahan mereka.
"Melihat bagaimana kalian tidak langsung menyerang setelah menunjukkan diri, bolehkah aku berasumsi bahwa kalian merencanakan mengurung serangan dan memiliki dua orang lainnya yang sedang menunggu? Karena kami sudah mengetahui titik itu, pertama, apakah kita akan menerobos mereka?"
Sebas dengan sengaja bersuara keras agar musuhnya bisa mendengarnya, menyebabkan orang-orang itu sejenak terdiam. Mereka gemetar karena rencana mereka untuk menyerang sambil mengepung sudah diketahui.
"Kelihatannya itu adalah pilihan yang paling aman. Akan lebih baik menghancurkan barisan depan dan menyerang mereka yang ada di belakang."
Brain setuju dengan Sebas. Namun, ide itu ditolak oleh yang menawarkan.
"Ah, tapi nantinya akan ada kemungkinan mereka kabur. Aku akan menangani tiga orang di depan. Bagaimana kalau kalian berdua di sisi lainnya dan menghadapi dua orang yang akan datang?"
Brain membalas bahwa dia mengerti dan Climb menganggukkan kepala setuju. Ini adalah pertarungan Sebas dan mereka adalah yang memaksa membantu. Selama Sebas tidak membuat kesalahan kritis, mereka harus mengikuti instruksinya.
"Baiklah, ayo maju."
Brain bicara kepada Climb dan memutar kepalanya kepada orang-orang itu. Meskipun dia menunjukkan sisi dirinya yang tidak dijaga kepada orangorang yang dipenuhi dengan rasa permusuhan tersebut, berkat Sebas, dia tidak khawatir. Saat dia menyerahkan punggungnya kepada Sebas, dia merasakan perasaan aman yang meningkat, seperti sebuah dinding tebal yang telah dibuat di sekitarnya.
"Sekarang, meskipun ini adalah hal yang disayangkan... Aku akan menjadi musuhmu. -Oh tidak, aku tidak bisa membuatmu tidak setia dengan mereka berdua."
Ketiak Brain melihat ke arah bahunya, Sebas sedang menggenggam tiga pisau kecil di jari-jari tangan kanannya. Dia menjentikkan jari-jarinya dan pisau-pisau yang dilemparkan ketiga pria tersebut kepada sisi tak terlindung dari Brain dan Climb seluruhnya jatuh ke tanah.
Rasa haus darah di mata para musuh itu berkurang drastis.
jelas seja, melihat pisau-pisau yang mereka lemparkan dihadang seperti itu akan membuat siapapun kehilangan semangat bertarung. Jadi kalian akhirnya menyadari seberapa kuat Sebas-sama, eh? Tapi sudah terlambat.
Tidak ada jalan untuk kabur dari pak tua itu. Meskipun jika kalian bertiga berpencar ke arah yang berbeda.
"Menakjubkan."
Climb berjalan ke samping Brain.
"Memang benar. Jika seseorang berkata bahwa Sebas-sama adalah yang terkuat di Kingdom, aku pasti akan menganggukkan kepala."
"Bahkan lebih kuat dari Kapten Prajurit?"
"Maksudmu Stronoff. Sebenarnya, melawan tetua itu, Aku..Aku..., maaf. Aku akan bicara seperti biasanya. Bahkan jika Stronoff dan aku menyerangnya bersama-sama, tidak mungkin kami bisa menang... Ah, mereka disini."
Dua orang lainnya muncul ketika mereka berputar di sudut. Seperti yang diduga, mereka berpakaian seperti tiga orang sebelumnya. Ada suara pedang yang terhunus dan Brain juga mengikutinya.
"Alasan bahwa mereka tidak menyisakan seseorang sebagai penyergap untuk melempar pisau mungkin karena tetua sudah melihat rencana mereka."
Seorang penyergap hanya efektif jika itu adalah sebuah keterkejutan, gagal dalam hal tersebut, mereka hanya akan memisahkan kekuatan mereka. Karena mereka sudah diketahui, mereka mungkin sudah bertekad bahwa bekerja sama dari awal akan memberikan peluang kemenangan yang lebih besar.
"Itu adalah pemikiran yang naif... Climb, aku akan menangani yang di kanan, kamu hadapi yang ada di kiri."
Brain memeriksa cara mereka bergerak dan menebak yang mana yang lebih lemah dari dua orang itu, lalu memberi instruksi kepadanya. Si Bocah mengangguk dan mengangkat pedangnya. Tiada keraguan adalah hal yang unik bagi seseorang yang mengalami situasi dimana nyawa mereka dipertaruhkan. Brain lega bocah ini bukan seorang perjaka dalam pertarungan yang sebenarnya.
Climb seharusnya bisa mengalahkan yang itu tapi... karena dia menggunakan racun, itu akan jadi pertarungan yang hampir.
Meskipun Climb memiliki pengalaman bertarung, dia kelihatannya tidak seperti seseorang yang berjalan di jalan yang penuh darah dimana bertarung melawan pengguna racun sangat sering. Ini mungkin adalah pertama kalinya bagi Climb bertarung melawan acun. Brain juga, dia selalu waspada berlebihan ketika bertarung melawan monster yang menggunakan asam atau racun, membuatnya sulit baginya untuk menunjukkan kekuatannya yang penuh dalam situasi tersebut.
Bukankah akan lebih baik jika aku akan membunuh yang di sebelah kanan dengan cepat dan menolongnya? Akankah itu akan menguntungkannya? Apakah aku menginjak tekadnya untuk membantu dengan kekuatannya sendiri? Apakah akuharus bertarung sebagai gantinya? Tidak... akankah Sebas-sama membantunya jika keadaan menjadi terdesak? Apakah aku harus melangkah jika tak ada tanda bahwa dia akan membantunya? Tidak kukira aku akan mengkhawatirkan hal ini...
Brain menggaruk kepalanya dengan tangan yang tidak sedang memegang katana dan menatap langsung ke arah musuh.
"Sekarang ini, maaf tapi aku harus membuat menjadi tumbal untuk memenuhi waktuku yang luang."
Tiga serangan.
Sebas mendekat dan dengan tinjunya, menanamkan serangan kepada masing-masing lawan. mereka bahkan tidak bisa bereaksi, jangan mempertahankan diri. Dan dengan itu, selesai sudah.
Jelas sekali. Dengan kekuatan tempur yang termasuk kelas atas bahkan di dalam Nazarick, Sebas bisa mengalahkan asssassin dengan level seperti ini hanya dengan jari kelingkingnya.
Dia mengalihkan matanya ke arah lawan yang roboh dan melihat pertarungan di belakangnya.
Brain mengungguli lawannya dari awal hingga akhir dan Sebas bisa melihatnya tanpa khawatir.
Assassin yang dia hadapi kelihatannya sedang mencari celah agar bisa kabur. Namun, Brain tidak memperbolehkannya dan melawannya seperti sedang bermain dengannya. Tidak, daripada disebut seperti itu, kelihatannya dia sedang mencoba menggunakan berbagai macam variasi serangan dan membuang 'karat' di tubuhnya.
Dia memang menyebutkan tentang waktu luang. Dan kelihatannya alasan dia tidak menyerang dengan serius adalah karena khawatir tentang Climb dan ingin bersiap untuk melompat dan menolong di saat kapanpun. Dia lebih perhatian daripada yang aku duga.
Sebas menggerakkan matanya dari Brain ke arah Climb.
Yang disini seharusnya juga tidak apa.
Adu serangan, meskipun senjata beracun bisa membuat tidak tenang, situasinya tidak cukup buruk sehingga dia harus langsung pergi menolongnya. Menyakitkan rasanya jika orang asing yang baik harus terseret ke dalam masalah yang dia sebabkan. Namun-
Jika kamu tidak bilang ingin menjadi kuat, aku akan pergi kesana untuk membantumu. Sebuah pertempuran dengan nyawa dipertaruhkan juga adalah latihan yang bagus. Aku akan membantumu jika keadaan menjadi berbahaya.
Climb menggunakan pedangnya untuk mengalihkan tusukan lawan.
Keringat dingin mengalir di punggungnya. Hampir berhasil menusuk armor miliknya. Sebuah wajah kecewa berkelebat di wajah musuhnya.
Climb menempatkan pedangnya di depan dan mengukur jarak diantara mereka. Lawannya di sisi seberang bergerak maju dan mundur untuk menghentikannya mengukur jarak.
Biasanya, Climb akan menahan dengan perisainya dan menggunakan pedangnya untuk menyerang. Kesulitannya saat ini dalam bertarung dengan hanya pedang disingkirkan baik dari pikiran dan tubunya. Bukan hanya itu, senjata beracun juga memberikan beban baginya. Dia tahu betul bahwa penghancur baju rantai dikhususkan untuk menusuk, dan semacamnya, itu adalah satu-satunya bagian yang harus dia waspadai. Tapi meskipun begitu, seperti yang dia duga, pemikiran tidak boleh terkena satupun goresan membuat gerakannya tumpul.
Dia bisa merasakan kelelahan yang semakin meningkat, bukan hanya di tubuhnya, tapi pikirannya juga. Nafasnya semakin tidak beraturan.
Hal yang sama berlaku juga bagi lawanku. Aku bukan satu-satunya yang kelelahan.
Sepertinya, dahi lawannya juga licin karena keringat. Dia sangat lincah, menggunakan gerakan cepat untuk menjadikan musuh tidak teratur, itu adalah gaya yang cocok untuk seorang assassin. Itulah kenapa memberikan satu luka saja di lengan atau kaki akan membuat assassin kehilangan keuntungan dan menghancurkan keseimbangan kekuatan antara mereka.
Pertarungan itu akan diputuskan oleh serangan tunggal.
Itu adalah alasan dari kegelisahan mereka yang mengalir. Tentu saja, ini adalah bagaimana sebuah pertarungan antara mereka yang memiliki skill yang mirip. Bagaimanapun juga, itu akan lebih jelas dalam pertarungan tertentu.
"Haa!"
Dengan nafas yang berat, Climb menyerang. Itu adalah sebuah ayunan kecil dengan sedikit kekuatan dibaliknya. Sebuah ayunan yang lebar akan membuka sebuah celah yang besar jika dia luput.
Assassin itu dengan mudah menghindari serangannya dan menusukkan tangannya ke arah baju rantai. Memprediksikan gerakan selanjutnya, Climb menjawa waspada terhadap tangan asassin.
Climb menahan pisau yang terbang ke arah matanya dengan pedangnya.
Itu adalah nasib baik. Untungnya, dia masih bisa menangkis serangan karena dia sudah memfokuskan perhatiannya dengan hati-hati.
Namun tanpa memberinya peluang bernafas lega, assassin itu menyerang bawah.
Oh tidak!
Sebuah getaran merangkak di tulang belakangnya.
Dia tidak mungkin bisa menghadang serangan tambahan ini. Takut akan pisau membuatnya menangkis dengan ayunan yang lebar. Karena pedangnya masih di udara, dia tidak bisa menariknya dengan cepat untuk menyamakan timing untuk menyerang balik. Meskipun dia ingin terfokus pada menghindar, assassin tersebut mengalahkannya dalam hal kelincahan.
Dia tersudut. Setidaknya, menggunakan lengannya sebagai perisai dan-
Saat Climb membulatkan tekad, assassin yang menyerangnya tiba-tiba menutupi wajahnya dan melompat ke belakang dengan jangkauan yang lebar.
Sebuah batu kecil dengan ukuran sebesar kacang datang melayang dan mengenai kelopak mata kiri assassin tersebut. Menekan hingga batasnya, Otak Climb yang cepat memastikannya.
Meskipun tanpa berbalik, dia tahu siapa yang telah melemparkanya. Sebagai bukti, dia mendengar suara Sebas datang dari belakang tubuhnya.
"Ketakutan adalah emosi yang berharga. Namun, jangan sampai dikalahkannya. Aku sedang melihatnya dari tadi, tapi ini adalah pertarungan yang sangat tumpul dan setengah hati. Jika musuhmu memiliki tekad mengorbankan sebuah lengan, itu pasti akan menjadi kematianmu. Jika kekuatanmu meninggalkanmu, menanglah dengan kepalamu. Ada waktunya ketika otak melebihi tubuh."
Ya!
Menjawab di dalam kepalanya, dia terkejut ketika dia mendapatkan kembali ketenangannya. Itu bukan sebuah perasaan aman dari bersandar kepada seseorang untuk membantunya. Namun, itu karena seseorang sedang melihatnya.
Dia tidak bisa sama sekali menghapus ketakutan jika dia mungkin akan mati. Namun-
"Jika... aku mati, tolong bilang Renner-sama, tolong bilang pada sang putri bahwa saya bertarung dengan baik."
Dia mengeluarkan helaan nfas panjang dan pelan-pelan mengangkat pedangnya.
Climb melihat bahwa cahaya di mata assassin itu berbeda dengan sebelumnya. Meskipun waktu mereka singkat, mungkin hati mereka telah menemukan sebuah sambungan melalui pertarungan yang mempertaruhkan nyawa mereka ini.
Seperti bagaimana Climb menemukan tekadnya, assassin itu juga kelihatannya mengetahui dan menemukannya pula.
Assassin itu melangkah ke depan. Tak usah dikatakan, dia memperpendek jarak tanpa berkata apapun.
Mempertimbangkan jika dia telah memasuki jangkauannya, Climb menurunkan pedangnya. Dalam sekejap, assassin itu melompat ke belakang. Dia telah membaca kecepatan pedang Climb dan menggunakan dirinya sebagai umpan untuk mencoba tipuan.
Tapi ada satu hal yang terlewatkan dari assassin itu.
Tidak diragukan lagi, assassin itu telah melihat sebagian besar teknik berpedang Climb. Namun, itu hanya mengecualikan satu serangan, tebasan vertikal yang sangat dipercayai oleh Climb. Tebasan itu lebih berat dan lebih cepat dari serangan apapun lainnya.
Pedang yang menancap di bahu assassin itu dihentikan oleh baju rantai dan tidak membelahnya menjadi dua sama sekali. Namun, bisa dengan mudah menembus tulang belikat, menembus daging, dan bahkan menghancurkan pedang di bahunya.
Assassin tersebut meronta-ronta saat dia bergulung-gulung di tanah. Luka yang sangat kuat sehingga teriakannya menjadi hening, air liur menetes dari mulutnya.
"Bagus sekali."
Sebas muncul dari belakang dan tanpa susah menendang perut assassin itu.
Dengan hanya itu, assassin itu menjadi boneka yang putus benangnya dan tidak bergerak. Dia telah jatuh pingsan.
Di sudut matanya, Brain sudah mengalahkan assassin lawannya dan sedikit mengangkat tangan untuk mengucapkan selamat kepadanya.
"Kalau begitu mari kita mulai interogasinya. Jika kalian memiliki hal yang ingin kalian dengar, tolong jangan ragu dan bertanyalah."
Sebas membawa salah satu dari mereka dan membangunkannya. Tubuh pria itu terguncang saat dia mulai sadar, Sebas lalu menggerakkan tangannya ke dahi pria itu. Semua ini bahkan tidak sampai dua detik. Meskipun dia tidak sedang menekannya dengan keras, kepala pria itu melengkung mundur dan balik seperti sebuah ayunan.
Mata pria itu sudah kehilangan fokus, seperti mata pemabuk.
Sebas mulai bertanya. Meskipun bibir assassin itu seharusnya tersegel dengan rapat, pria itu tidak menyembunyikan apapun dan mulai berceloteh. Melihat pemandangan aneh itu, Climb bertanya.
"Apa yang anda lakukan?"
"Ini adalah skill yang disebut 'Palm of the Puppeteer'. Untungnya bisa aktif tanpa ada halangan."
Meskipun itu adalah skill yang tak pernah ia dengar, lebih penting lagi, Climb mengerutkan dahi dengan informasi pria itu.
Mereka adalah assassin dari Eight Finger yang dilatih oleh salah satu dari 'Six Arm', anggota terkuat dari kelompok keamanan. Mereka mengikuti Sebas untuk membunuhnya. Brain bertanya kepada Climb.
"...Aku tidak terlalu yakin tapi, bukankah Eight Finge adalah organisasi kriminal yang sangat besar? Kurasa mereka ada hubungannya dengan kelompok tentara bayaran.."
"Kamu benar. 'Six Arm' adalah nama dari enam anggota terkuat dari organisasi itu. Aku dengar masing-masing dari mereka memiliki kekuatan yang setara dengan petualang peringkat adamantium. Kita tidak tahu seperti apa tampang mereka karena itu adalah persoalan mengenai dunia bawah tanah."
Dan Succulent, orang yang muncul di kediaman Sebas, adalah anggota dari Six Arm yang disebut 'Devil of Illusion'. Rencananya adalah membunuh Sebas agar dia bisa dengan mudah memanipulasi tuan yang cantik.
Setelah mendengar hingga titik ini, Climb merasa sebuah hawa dingin merasuk ke tubuhnya. Hawa dingin itu datangnya dari Sebas.
Saat Sebas pelan-pelan berdiri, Brain bertanya.
"Lalu apa yang Sebas-sama lakukan mulai sekarang?"
"Aku sudah memutuskan. Aku akan hancurkan lokasi yang bermasalah itu. Dari apa yang dia katakan, kelihatannya Succulent juga ada disana. Sebuah percikan api seharusnya cepat-cepat diinjak."
Baik Climb dan Brain menarik nafas mereka dengan balasan Sebas yang sepenuhnya tidak perduli itu.
Fakta bahwa dia akan menyerang mereka artinya dia cukup yakin untuk menang melawan petualang dengan peringkat adamantium - dengan kata lain, yang terkuat di antara umat manusia.
Tapi bahkan itu pun dirasa bisa diterima.
Dia mengalahkan tiga orang assassin dalam sekejap dan bahkan Unglaus-sama yang terkenal waspada terhadapnya. Siapa sebenarnya Sebas-sama ini? Apakah dia adalah petualang dengan peringkat adamantium di masa lalu?
"...Namun, kelihatannya mereka juga telah menculik beberapa orang. Akan lebih baik bagiku untuk bergerak dengan cepat."
"Benar, jika para assassin tidak kembali, mereka akan menyadari bahwa ada yang tidak beres dan memindahkan orang-orang yang diculik ke tempat lain. Maka kita tidak akan bisa menyelamatkan mereka."
Semakin banyak waktu berlalu, semakin banyak kerugian di pihak ini dan di waktu yang sama, semakin banyak keuntungan bagi musuh. Itu adalah situasi saat ini bagi orang yang disebut Sebas.
"Kalau begitu aku akan langsung mulai penyerangan. Aku minta maaf tapi aku tidak berniat untuk merubah pikiranku. Bolehkan aku meminta kepada kalian berdua untuk membawa para assassin ini ke kantor penjaga?"
"Ahhh, tunggu Sebas-sama. Jika tidak apa bagi anda, tolong perbolehkan aku untuk membantu! Tentu saja, hanya dengan persetujuan anda."
"Saya juga setuju, Sebas-sama. Sebagai bawahan dari Renner-sama, menjaga ketertiban umum di ibukota adalah jelas tugas saya. Jika orang-orang Kingdom menderita, saya akan menyelamatkan mereka dengan pedang saya."
"...Meskipun Unglaus-kun mungkin tidak apa, akan sedikit berbahaya bagi Climb-kun."
"Saya tahu bahayanya."
"Hey, Climb...apakah kamu pernah mendengar menjadi beban? Yah, dari sudut pandang Sebas-sama, mungkin tidak ada banyak perbedaan antara aku dan dirimu."
"Tidak tidak, bukan itu maksudku. Aku hanya khawatir dengan keamanan Climb-kun. Tolong ketahuilah bahwa saya takkan bisa melindungi anda seperti sebelumnya."
"Saya sudah bersiap."
"..Apa yang akan kita lakukan mungkin akan berakhir melukaimu, atau kehormatan tuanmu. Apakah tidak ada kesempatan lain yang lebih tepat bagimu untuk mengambil resiko terhadap nyawamu?"
"Menutup mata hanya karena itu berbahaya akan membuktikan bahwa aku tidak cocok sebagai seorang pria untuk melayani tuanku. Seperti bagaimana orang lain menolong lainnya, jika mungkin, aku ingin mengulurkan tanganku kepada mereka yang menderita."
Seperti ketika dia mengulurkan tangan kepadaku-
Seakan mereka menangkap sebuah kilatan tekadnya yang kuat, Sebas dan Brain berubah saling melihat satu sama lain.
"...Apakah kamu sudah mempersiapkan tekadmu?"
Dari pertanyaan Sebas, Climb menganggukkan kepala sekali.
"Saya mengerti, kalau begitu tak ada yang perlu dikatakan lagi. Tolong pinjamkan kekuatan kalian."
Mantap, jadi serasa baca kisah kependekaran
BalasHapussankyu overlord vol.5 bab 4 bag. 4
BalasHapusKerenn banget dah ceritanya .. This absolute!
BalasHapusAsli best guardian ni orang tua
BalasHapusGua ketawa masa pas Sebas dipanggil Tetua wkwk😂
BalasHapusMakasih overlord bab 5 vol 4-4
BalasHapus